Kamis, 08 Desember 2011

PERGESERAN DUNIA DAKWAH


Oleh: Arsyad Abrar
Juru dakwah, penceramah atau da’i dalam bahasa syar’i  merupakan figur sentral yang sangat penting lagi dibutuhkan dalam menjaga stabilitas ajaran-ajaran dan norma agama. Bukan sekedar menyadari pentingnya melakukan penyegaran rohani untuk umat, kegiatan berdakwah adalah kewajiban bagi tiap pribadi muslim. Kegiatan dakwah merupakan interpretasi terhadap teks-teks suci yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sasaran dari dakwah ini sudah barang tentu adalah kita umat Islam yang berperan sebagai audiens, sedangkan menjadi seorang da’i atau pendakwah adalah suatu keharusan sebagai warisan luhur agama terhadap setiap pribadi.
            Bila kita terjemahkan secara harfiah, maka berdakwah memilki artian yang luas. Mengingat bahwa inti dari dakwah adalah mengajak, mengingatkan bahkan termasuk di dalamnya mengarahkan orang untuk selalu konsisten dalam melakukan kebaikan, maka berdakwah dapat kita lakukan dimana saja, tidak terikat waktunya dan dengan siapa pun kita boleh melakukan hal tersebut selama dalam batasan-batasan yang wajar. Serulah oleh mu (mereka itu) ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan lemah lembut. Meskipun demikian, untuk berdakwah kita terlebih dahulu haruslah dibekali dengan ilmu agama yang memadai. Tidak hanya itu, pandai membaca situasi dan kondisi mereka yang akan kita jadikan objek dakwah merupakan salah satu kunci keberhasilan dari apa yang akan kita sampaikan.
            Seorang da’i atau penceramah bukan sekedar orator yang ulung, haruslah bisa menjadi sosok panutan, suri teladan dalam kalangan masyarakat, dan yang jauh lebih penting adalah mampu menjaga nilai-nilai agama hingga tidak tercampuri dengan urusan-urusan  yang lebih condong bersifat duniawi.
            Belakangan ini satu hal yang menarik perhatian saya terkait dengan masalah berdakwah adalah maraknya ajang pencarian bakat para da’i, mulai dari tingkat anak-anak sampai ke tingkat dewasa. Tidak tanggung-tanggung ajang ini hampir diikuti oleh sebagian besar tunas bangsa Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke. Mereka berbondong-bondong mengikuti audisi, saling unjuk kemampuan dan prestasi demi mendapat tiket sebagai kandidat da’i terpilih untuk terbang ke ibu kota. Konsep yang sama juga digunakan dalam penyaringan penyayi top dalam satu kompetisi.
            Salahkah hal seperti itu? Salah atau tidak dari apa yang sedang marak itu tergantung sejauh mana penilian kita masyarakat pada umumnya, dan dengan pandangan apa kita menanggapinya.
            Mungkin sebagian dari kita adalah golongan yang menikmati begitu asik dengan kekaguman melihat anak-anak yang pada usia belianya telah mampu berbicara tentang ajaran-ajaran luhur agama. Lain dari itu mereka juga pandai melantunkan ayat-ayat Alquran dengan fasih disertai pula dengan irama yang mendukung, enak untuk didengar. Atau sebagian dari kita adalah golongan yang menanggapi hal tersebut sebagai hal yang biasa-biasa saja, menanggapi bahwa hal tersebut cukuplah sebagai sekedar hiburan belaka. Maka saya dalam hal ini berada dalam golongan yang ketiga, yaitu mencoba mengkritisi ajang tersebut sejalan dengan pisau analisis yang saya gunakan. Karena bagi saya masalah ini bukan sekedar ajang pencarian bakat semata, ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan dan produktifitas Islam pada masa yang akan datang.  
            Dalam hal ini saya sedikit membuat beberapa catatan kecil. Pertama, kegiatan pencarian bakat calon da’i ini sarat dengan hal yang mengarah ke materi, penuh komersial alias mencari untung. (bagi pihak penyelanggara). Bisa kita lihat bahwa mereka yang sampai ke ibu kota akan diadu satu sama lain untuk menunjukan kemampuan mereka, sejauh mana penguasaan materi yang telah diajarkan oleh para pelatih, kemudian hal tersebut mereka tunjukan dipanggung perlombaan dengan ditonton oleh banyak orang, termasuklah kita yang menyaksikan melalui layar kaca. Diakhir pertunjukan, calon da’i meminta dukungan agar ia keluar sebagai pemenang dengan cara meminta kirim SMS sebagaiamana aturan yang berlaku.
Cukup unik, namun sangatlah tidak lucu bila dakwah yang merupakan bagian dari lahan agama turut dikomersilkan. Hal seperti itu sama sekali tidaklah menguntungkan, baik untuk si peserta maupun yang menonton, bila ditinjau dari sudut agama. Mengapa demikian,  secara tidak langsung para peserta tersebut telah diajarkan, diasuh untuk siap bertanding, bukan lagi untuk menjunjung tinggi syiar-syiar agama sebagaimana ruh dari berdakwah tersebut. Bagi penonton adalah hal yang mubazir untuk menyaksikan tersebut, terkecuali bagi para produser atau sutradara yang ingin menggaet si anak berbakat untuk dijadikan artis dadakan, terlebih lagi film-film atau sinetron religi yang laku keras menjelang dan sesudah Ramadhan.
            Kedua, ajang penacarian da’i berbakat tersebut juga merupakan moment untuk berjualan, berjualan pakaian muslim. Yang mana akhir-akhir ini trend berpakaian muslim sedang berada pada jalur laris manis. Setiap peserta memakai aneka pakaian yang beragam dan memilki style baru, lain dari yang  lain. Akhirnya nilai-nilai dakwa yang  utama pada awalnya kini menjadi tontonan belaka.
            Ketiga, ajang yang sama akan melahirkan para da’i yang terikat dengan kontrak-kontrak tertentu. Mereka yang keluar sebagai pemenang, nantinya sudah bisa dipastikan sebagai icon da’i yang layak jadi panutan dan direkrut dengan pihak-pihak tertentu. Dan yang saya khawatirkan adalah para dai terpilih tersebut nantinya akan alih status. Yang mana pada awal mulanya kegiatan dakwah merupakan siraman rohani untuk menghidupkan nilai-nilai Islam, menjaga stabilitas keimanan, diujung jalan akan berubah menjadi tontonan yang bersifat hiburan.
Hal tersebut sudah jelas terlihat saat ini, bisa kita saksikan, ketika ada dua pengajian pada hari yang sama. Ceramah yang satu dihadiri oleh ustaz kondang namun jarang nampil di TV dan ceramah yang satunya lagi adalah diisi ustaz kondang yang rajin mangkal di TV, maka para jema’ah akan berbondong untuk menghadiri ceramah agama yang akan disampaikan oleh ustaz TV, alasannya sederhana, pengen lihat ustaz yang rajin di TV, atau berharap moga-moga masuk TV. Inti dari mendengarkan kajian agama pun dilupakan. Lama-kelamaan, ruh dakwah bukan lagi untuk saling mentausiah, saling member ilmu, tapi hanya sekedar bahan hiburan semata.
Kekhawatiran saya yang paing besar berkaitan dengan perkembangan dai-dai muda saat ini adalah ketika mereka direkrut dan dibesarkan oleh si empunya kepentingan. Kenapa? Bisa jadi mereka dijadikan alat untuk melaksanakan pogram-progarn si yang punya hajat, terlebih lagi ketika si da’i udah terlanjur masyhur di hati ummat. Yang dimaksud adalah politisasi para da’i.
Beberapa waktu lalu kita telah ditinggalkan oleh  sosok da’i fenomenal di negeri ini, KH. Zainuddin MZ. Beliau adalah potret juru dakwah yang sangat ulung dan dicintai orang banyak. Ceramah-ceramahnya sangat banyak memberi semangat dan pengaruh yang besar dalam perkembangan Islam Indonesia. Sosoknya yang kritis dan berani menjadi karakter tersendiri yang layak untuk dipuji. Namun itu dahulu ketika beliau terlepas dari ikatan dengan apa pun yang mempunyai kepentingan. Sosoknya begitu mencuat dan menjadi sosok inspiratif hingga menjadi da’i sejuta umat. Namun ketika beliau mulai merambah wilayah yang diluar kadarnya-untuk berpolitik- karismatik sebagai da’i untuk umat itu kian memudar, karena orientasi si da’i tidak lagi untuk umat melainkan milik umat-umat tertentu. Menjelang akhir hayat beliau citra sang da’i kian mengharum, karena konsisten menjadi dan mengabdikan diri untuk umat, bukan milik umat.
Lain dengan almarhum Zainuddin MZ, Abdullah Gymnastiar atau yang lebih akrab dengan panggilan AA Gym sosok da’i yang banyak dibicarakan beberapa tahun terakhir. Sempat mengalami masah-masah sulit. Pada awal kesuksesannya, dengan mengusung tema manajemen qalbu, pesan-pesan dan ajaran sang AA sangat diminati oleh masyarakat, karena sesuai dengan kondisi rakyat yang kritis dari kepekaan sosial bersama. Tema sabar, tawadhu’, ikhlas dan lain sebagainya merupakan bagian dari ajaran AA Gym yang enak untuk didengar. Sehingga ceramah-ceramah beliau dapat dengan mudah kita saksikan dilayar televise. Seketika sosok AA Gym menjadi panutan semua kalangan, umat pun tak mau kalah, mereka merasa si da’i adalah milki mereka sepanjang masa.
Namun itu semua terasa tidak bertahan begitu lama, ketika terdengar si da’i menikah lagi spontan pamornya menurun. Padahal apa yang dilakukan oleh beliau adalah hal yang wajar dan dibenarkan oleh agama. Bahkan tak jarang beliau banyak mendapat hujatan ketika itu. Menanggapi kasus AA Gym ini, satu kesimpulan yang dapat saya pahami adalah kebanyakan dari kita-umat Islam Indonesia-memahami dakwah atau ajaran kebaikan itu berdasarkan orang yang menyampaikan, bukan dari isinya. Sampai-sampai kehidupan pribadi sang da’i berpengaruh pada aktivitas dakwah yang luhur. Tidak lain tidak bukan salah satu dari penyebab yang ada adalah sosok sang  da’i yang terlalu digadang-gadangkan bak artis terkenal. Namanya selebritis tentu ada fans dan penyakiit fans akan meninggalkan idolanya ketika sudah tidak lagi seperti yang diharapkan. Kegiatan dakwah akhirnya yang menjadi tumbal.
Dua dilema diatas merupakan potret bahwa masih minimnya  pemahaman agama dalam masyarakat luas. Itu semua karena tidak ada keseriusan dari pihak-pihak yang berwenang untuk lebih serius mengkader da’i-da’i yang layak menjadi panutan dan sangat paham dengan ajaran agama. Saya tidak bisa membayangkan bila sepuluh tahun akan datang akan lahir banyak da’i yang jago akting, pandai menyanyi, namun isi kepala dan tingkah lakunya tidak layak disebut sebagai orang yang diamanahkan menjaga stablitas nilai-nilai agama. Lama-lama akan banyak terjadi pengaburan dalam ajaran agama, yang dalam bahsa agama dikenal dengan istilah syubhat. Wallahu a’lam. 

0 komentar:

Posting Komentar